Translate

Jumat, 29 Januari 2016

Tahukah Anda Kisah di Balik Nama Kabupaten Jombang - JombangUnix.Com

Ringin Contong, ikon Jombang. Tempat ini dahulu adalah pohon raksasa yang menjadi tempat persinggahan Kebo Kicak saat mengejar Surontanu. (Foto: Wikipedia)

Warta Kota - ASAL usul nama Jombang, sebuah kabupaten di Jawa Timur, konon tidak terlepas dari pertarungan Kebo Kicak Vs Surontanu. Seperti apa ceritanya?

Jombang adalah kabupaten yang terletak di bagian tengah Provinsi Jawa Timur.
Jombang dikenal dengan sebutan Kota Santri.

Seperti dikutip dari Wikipedia, pada masa Kerajaan Majapahit, wilayah yang kini Kabupaten Jombang merupakan gerbang Majapahit. Gapura barat adalah Desa Tunggorono, Kecamatan Jombang, sedang gapura selatan adalah Desa Ngrimbi, Kecamatan Bareng. 

Dalam logo Kabupaten Jombang, memang terdapat gerbang dan benteng yang melambangkan bahwa zaman dahulu Jombang adalah benteng Majapahit (Mojopahit) sebelah barat. 

Hingga kini banyak dijumpai nama-nama desa/kecamatan yang diawali dengan prefiks mojo-, di antaranya Mojoagung, Mojowarno, Mojojejer, Mojotengah, Mojotrisno, Mojongapit, dan sebagainya. Salah satu peninggalan Majapahit di Jombang adalah Candi Arimbi di Kecamatan Bareng.

Menyusul runtuhnya Majapahit, agama Islam mulai berkembang di kawasan, yang penyebarannya dari pesisir pantai utara Jawa Timur. Jombang kemudian menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Seiring dengan melemahnya pengaruh Mataram, Belanda menjadikan Jombang sebagai bagian dari wilayah VOC pada akhir abad ke-17, yang kemudian sebagai bagian dari Hindia Belanda pada awal abad ke-18.

Tahun 1811, didirikan Kabupaten Mojokerto, meliputi pula wilayah yang kini adalah Kabupaten Jombang. Trowulan (pusat Kerajaan Majapahit), masuk dalam kawedanan (onderdistrict afdeeling) Jombang.

Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris yang memformulasikan Teori Evolusi dan terkenal dengan Garis Wallace, pernah mengunjungi dan bermalam di Jombang saat mengeksplorasi keanekaragaman hayati Indonesia.

Tahun 1910, Jombang memperoleh status kabupaten, memisahkan diri dari Kabupaten Mojokerto. Raden Adipati Arya Soeroadiningrat menjadi bupati pertama.  Dia juga biasa disapa Kanjeng Sepuh atau Kanjeng Jimat. Dia juga merupakan keturunan ke-15 dari Prabu Brawijaya V, Raja terakhir Majapahit.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur mengukuhkan Jombang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

Lantas, dari mana asal nama Jombang? Menurut cerita yang beredar dari mulut ke mulut di kalangan masyarakat Jombang, hal ini tak lepas dari sosok Kebo Kicak dan Surontanu.

Dalam cerita itu disebutkan, Kebo Kicak adalah seseorang yang dikutuk orangtuanya sehingga memiliki kepala kebo atau kerbau.

Setelah berkepala kerbau dengan tetap berbadan manusia, Kebo Kicak berguru kepada seorang kiai sakti mandraguna. Bertahun-tahun belajar pada kiai tersebut, Kebo Kicak menjadi orang soleh. 

Lantas, siapa Surontanu? Konon, di sebuah kadipaten Kerajaan Majapahit yang kelak disebut Kabupaten Jombang, terdapat seorang perampok sakti bernama Surontanu. Dia adalah penjahat nomor satu dan paling ditakuti masyarakat sekitar Jombang. Tidak ada satu orang pun yang mampu menangkap Surontanu.

Alkisah, huru-hara di masyarakat didengar oleh Kebo Kicak. Atas perintah sang guru, Kebo Kicak turun gunung untuk menghentikan kejahatan Surontanu. 

Setelah berpetualang beberapa hari, Kebo Kicak berhasil menemukan Surontanu. Tanpa panjang lebar, keduanya beradu kesaktian. Setelah bertarung beberapa lama, Surontanu terdesak. Dia melarikan diri hingga ke sebuah rawa yang terdapat banyak tanaman tebu. Dengan kesaktiannya, Surontanu berhasil masuk ke rawa tebu. Kebo Kicak menyusul masuk ke rawa yang sekarang terletak di wilayah Jombang.

Namun, Surontanu dan Kebo Kicak yang masuk ke dalam rawa tebu tidak pernah kembali lagi. Entah apa yang terjadi dengan mereka. Hingga sekarang, masyarakat tak menemukan jasad maupun makam mereka.

Ada versi lain terkait Kebo Kicak. Salah satu versinya mengisahkan bahwa Kebo Kicak adalah sosok kesatria. Dia mengobrak-abrik Kerajaan Majapahit untuk mencari ayah kandungnya yang bernama Patih Pangulang Jagad.

Setelah bertemu Patih Pangulang Jagad, Kebo Kicak diminta menunjukkan bukti bahwa dia benar-benar anak sang Patih. Cara membuktikannya tak mudah. Kebo Kicak diminta mengangkat batu hitam di Sungai Brantas. Dalam upayanya itu, Kebo Kicak harus berkelahi dengan Bajul Ijo. 

Usaha Kebo Kicak membuahkan hasil. Setelah berhasil membuktikan bahwa dirinya anak kandung Patih Pangulang Jagad, Kebo Kicak diberi wewenang menjadi penguasa wilayah barat.

Ambisi kekuasaan yang tinggi membuat Kebo Kicak tak pernah puas. Dia bertarung dengan saudara seperguruannya, Surontanu, demi memperebutkan pusaka banteng milik Surontanu.

Konon, pertempuran kedua orang tersebut berlangsung amat dahsyat. Saat keduanya bertarung, muncul cahaya ijo (hijau) dan abang (merah). Dari penggabungan kata ijo dan abang tersebut muncul sebutan Jombang.

Kini, warna hijau dan merah tua begitu mencolok dalam logo Kabupaten Jombang. Warna dari perisai berarti perpaduan dua warna Jo dan Bang (ijo dan abang) sama dengan Jombang.

Warna hijau bermakna kesuburan, ketenangan, dan kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, warna merah berarti keberanian, dinamis dan kritis. 

Tapi, ada pula yang menyebut ijo mewakili kaum santri (agamis), sementara abang mewakili kaum abangan (nasionalis/kejawen). 


 Sumber: Wikipedia, http://wiyonggoputih.blogspot.com,  http://KokoLinds.Com, dan http://jombangkab.go.id 
(diolah dari berbagai sumber).

Sekilas Sejarah Singkat Kabupaten Jombang Beriman Yang Perlu Anda Tahu - JombangUnix.Com

Lambang Kabupaten Jombang
ꦑꦧꦸꦥꦠꦺꦤ꧀ꦗꦺꦴꦩ꧀ꦧꦁ

Moto: Jombang Beriman (Bersih, Indah, dan Nyaman)
Semboyan: The Heart of East Java
Slogan pariwisata: Friendly and Religious
Julukan: The City of Tolerance, Kota Santri


Dari kiri atas ke kanan bawah: Ringin ContongKebon Rojo, Tugu Adipura, Keraton Jombang (pusat perbelanjaan), Relief Candi ArimbiPondok Pesantren Tebuireng, Pabrik CJI, Tirta Wisata,Wisata Alam Wonosalam, Soto Dokk, GKJW Mojowarno, Klenteng Hong San Kiong

Warta Kota -
Jombang termasuk Kabupaten yang masih muda usia, setelah memisahkan diri dari gabungannya dengan Kabupaten Mojokerto yang berada di bawah pemerintahan Bupati Raden Adipati Ario Kromodjojo, yang ditandai dengan tampilnya pejabat yang pertama mulai tahun 1910 sampai dengan tahun 1930 yaitu : Raden Adipati Ario Soerjo Adiningrat.

Menurut sejarah lama, konon dalam cerita rakyat mengatakan bahwa salah satu desa yaitu desa Tunggorono, merupakan gapura keraton Majapahit bagian Barat, sedang letak gapura sebelah selatan di desa Ngrimbi, dimana sampai sekarang masih berdiri candinya. Cerita rakyat ini dikuatkan dengan banyaknya nama-nama desa dengan awalan "Mojo" (Mojoagung, Mojotrisno, Mojolegi, Mojowangi, Mojowarno, Mojojejer, Mojodanu dan masih banyak lagi).

Salah Satu Peninggalan Sejarah di Kabupaten Jombang Candi Ngrimbi, Pulosari Bareng Bahkan di dalam lambang daerah Jombang sendiri dilukiskan sebuah gerbang, yang dimaksudkan sebagai gerbang Mojopahit dimana Jombang termasuk wewenangnya Suatu catatan yang pernah diungkapkan dalam majalah Intisari bulan Mei 1975 halaman 72, dituliskan laporan Bupati Mojokerto Raden Adipati Ario Kromodjojo kepada residen Jombang tanggal 25 Januari 1898 tentang keadaan Trowulan (salah satu onderdistrict afdeeling Jombang) pada tahun 1880.

Sehingga kegiatan pemerintahan di Jombang sebenarnya bukan dimulai sejak berdirinya (tersendiri) Kabupaten jombang kira-kira 1910, melainkan sebelum tahun 1880 dimana Trowulan pada saat itu sudah menjadi onderdistrict afdeeling Jombang, walaupun saat itu masih terjalin menjadi satu Kabupaten dengan Mojokerto. Fakta yang lebih menguatkan bahwa sistem pemerintahan Kabupaten Jombang telah terkelola dengan baik adalah saat itu telah ditempatkan seorang Asisten Resident dari Pemerintahan Belanda yang kemungkinan wilayah Kabupaten Mojokerto dan Jombang Lebih-lebih bila ditinjau dari berdirinya Gereja Kristen Mojowarno sekitar tahun 1893 yang bersamaan dengan berdirinya Masjid Agung di Kota Jombang, juga tempat peribadatan Tridharma bagi pemeluk Agama Kong hu Chu di kecamatan Gudo sekitar tahun 1700.


Konon disebutkan dalam ceritera rakyat tentang hubungan Bupati Jombang dengan Bupati Sedayu dalam soal ilmu yang berkaitang dengan pembuatan Masjid Agung di Kota Jombang dan berbagai hal lain, pemuanya merupakan petunjuk yang mendasari eksistensi awal-awal suatu tata pemerintahan di Kabupaten Jombang. Lebih Lengkap Sejarah Jombang

Nama Bupati Jombang Dari yang Pertama hingga 2013 - JombangUnix.Com

 


Sekilas Jombang - Sudah taukah anda siapa nama-nama bupati jombang dari yang pertama menjabat hingga sekarang? Jika anda belum mengetahuinya,  Berikut adalah 18 nama-nama Bupati  Jombang yang pernah menjabat sesuai dengan masa baktinya :


1.    R.A.A.  Soeroadiningrat (Masa Bhakti 1910-1930)
2.    R.A.A.  Setjoadiningrat (Masa Bhakti 1930  – 1946 )
3.    R. Boediman Rahardjo (Masa Bh akti 1946-1949)
4.    R. Moestadjab Soemowidagdo (Masa Bhakti 1949 -1950)
5.    R. Istad jab Tjokrokoesoemo (Masa Bhakti 1950-1956)
6.    M. Soebijakto (Masa Bhakti 1956-1958 )
7.    R. Soed arsono (Masa Bhakti 1958-1962)
8.    R.  Hassan  Wirjoekoesoemo  (Masa  Bhakti  1962-1966)
9.    Ismail (Masa Bhakti 1966-1973)
10.   R. Soedirman (Masa Bhakti 1973-1979)
11.   Achmad Hudan Dardiri (Masa Bhakti 1979-1983)
12.   Noeroel Koesmen (Masa Bhakti 1983 -1988)
13.   Tarmin Hariadi (Masa Bhakti 1988-1993)
14.   Soewoto Adiwibowo (Masa Bhakti 1993-1998)
15.   Drs.H. Affandi, M.Si (Masa Bhakti 1998-2003 )
16.   Drs. H. Suyanto (Masa Bhakti 2003 – 2008)
17.   Drs. H. Ali Fikri (Masa Bhakti Juni 2008- September 2008)
18.   Drs. H. Suyanto (Masa Bhakti 2008 – 2013)
19.  September 2013 - Nyono Suhaerli Dipastikan Menjabat Bupati Jombang




Berikut Tadi adalah Nama-nama bupati dari Pertama hingga saat ini. Baca Juga Hasil Quick Count Pilkada Jombang. Sebagai Warga Jombang Mari kita Majukan kota kita dari segala aspek.

sumber artikel : inijombang

Adakah Cara Cepat Anda Sukses Jadi Milyader - JombangUnix.Com

Artikel Populer

Seni Wayang Topeng Jombang - JombangUnix.Com

Wayang Topeng Jatiduwur Jombang, Supriyo, Mbah Nadi, Mbah Nasri, Mbah Ngari, Mbah Sadi, Mbah Samid, Sanggar tari Lung Ayu Jombang, mahasiswa tari Universitas Negeri Malang.

Warta Jombang - Wayang Topeng Jatiduwur itu diambil mungkin karena kebetulan saat ini keberadaan komunitas ini beradi wilayah desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, Kab. Jombang. Konon menurut cerita Wayang Topeng Jatiduwur ini berasal dari masa Majapahit kemudian secara turun temurun diwariskan kepada ahliwarisnya. Keberadaan topengnya sendiri konon juga sudah beberapa kali berpindah kepemilikannya. Pernah berada di daerah trowulan, pernah juga berada di daerah Betek Mojoagung, dan terakhir kini berada di Ds. Jatiduwur Kec. Kesamben Kab. Jombang. Meski ditempat lain, tepatnya di Ds. Manduro, Kec. Kabuh, Kab. Jombang juga ditemukan komunitas topeng yang menamakan dirinya Komunitas Sandur Manduro, namun Wayang Topeng Jatiduwur memiliki karekteristik tersendiri dibanding dengan Sandur Manduro.

Namun karena keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan leteratur yang bisa dijadikan acuan tentang Wayang Topeng Jatiduwur ini sementara ini acuan yang dipergunakan hanyalah cerita dari mulut ke mulut yang beredar di masyarakat Jatiduwur. Para pelaku Wayang Topeng Jatiduwur ini juga sudah banyak yang meninggal sehingga regenerasi dikomunitas ini sedikit terganggu.

 

Beruntung saat ini ada seorang guru agama di sebuah Sekolah Dasar yang tidak mengerti tentang seni sama sekali tetapi sangat konsen untuk nguri-uri kebudayaan yang bernama Bpk. Supriyo. Beliaulah yang berjuang untuk memperkenalkan Wayang Topeng Jatiduwur kepada masyarakat luas, tentu diawal perjuaannya dia banyak sekali mendapat rintangan dan tantangan baik dari keluarga maupun masyarakat sekitar karena mereka menganggap tidak pantas seorang guru agama kok ngurusi

Wayang Topeng yang menurut mereka berbau magis dan kemusrikan karena disetiap penampilannya selalu mengadakan ritual sesajen. Belum lagi wayang topeng topeng Jatiduwur juga bisa dibilang miskin cerita. Hanya ada beberapa cerita yang biasa ditampilkan oleh Komunitas ini antara lian Patah Kuda Narawangsa dan Wiruncara Murca. Kostum/busana serta peralatan gamelannyapun masih jauh dari kata layak dan masih perlu bantuan dari dari pihak dan instasnsi terkait untuk menatanya.
 


Sejumlah anak mengikuti pawai topeng Debog dalam rangka Dasawarsa kebangkitan wayang topeng peninggalan Majapahitan di Desa Jatiduwur, Kesamben, Jombang, Jawa Timur, Minggu (4/12). Pawai topeng debog tersebut merupakan upaya untuk mengenalkan dan melestarikan budaya topeng Jatiduwur yang hampir punah kepada anak-anak sejak usia dini.

Karnaval Festival Budaya Prakarsa Rakyat Di Mojowarno - JombangUnix.Com


Dari Aceh hingga Papua, akan berdiskusi, menari, menyanyi, berpantun dan merayakan geliat perlawanan rakyat indonesia terhadap penjajah. Karnaval ini terdiri dari 21 kelompok yang terdiri dari perwakilan warga Mojowarno, kelompok seni tradisional barongsay, bantengan, paskibra, drumband siswa SD-SMP, serta komunitas LGBT dan lain-lain. Rombongan karnaval akan dilepas oleh Bupati Jombang dari Lapangan Desa Mojowarno dan melakukan perjalanan kurang lebih empat kilometer mengelingi Desa Mojowarno.

Selain atraksi drumband, barongsay, bantengan, karnaval juga mengarak bola sampah raksasa, yang terbuat dari barang-barang bekas dan aneka sampah, yang dikumpulkan sepanjang jalan. Sebagai simbolisasi, bahwa saatnya rakyat bersatu menyingkirkan sampah-sampah yang mengotori dunia dan merusak kedaulatan bangsa.

Isi dari Karnaval Festival Prakarsa Rakyat Di Mojowarno Jombang meliputi :
Karnaval Rakyat Berdaulat
Diskusi simpul Prakarsa Rakyat
Pameran dan Seni Instalasi
Ludruk
Jaranan Tung Dor
Lomba Tari Remo
Sambang Dusun
Parade Band
Folksong dan Tari Tradisonal Papua
Pesta Bakar Batu Papua (Barapen)
Hikayat Mop-mop – Tradisi Tutur Aceh
Aneka Workshop:
 -Cukil kayu
 -Harmonisasi Bebunyian
 -Menulis 2 Jam Bisa
 -Permainan Anak
 -Pembuatan Layang-layang

Rombongan karnaval akan dilepas oleh Bupati Jombang dari Lapangan Desa Mojowarno dan melakukan perjalanan kurang lebih empat kilometer mengelingi Desa Mojowarno. Selain atraksi drumband, barongsay, bantengan, karnaval juga mengarak bola sampah raksasa, yang terbuat dari barang-barang bekas dan aneka sampah, yang dikumpulkan sepanjang jalan. Sebagai simbolisasi, bahwa saatnya rakyat bersatu menyingkirkan sampah-sampah yang mengotori dunia dan merusak kedaulatan bangsa.

Dokumentasi acara FPR dari berbagai sumber :
  


Warga Asing

Memasak Dengan Bakar Batu Tradisi papua
Seni ukir Papua



















Festival Prakarsa Rakyat bermaksud mempertemukan berbagai pengalaman perlawanan ini. Bentuk festival dipilih karena sifatnya yang “merayakan” perlawanan di tengah gempuran represi dan cemooh terhadap perjuangan ini. Festival Prakarsa Rakyat memberi kesempatan kepada berbagai kelompok dan individu untuk bertukar pikiran, berbagi pengalaman dan juga merumuskan landasan bersama. Harapannya tentu saja agar ada tenaga baru yang muncul untuk menghidupi perjuangan lebih lanjut dan juga terbentuknya jaringan yang dapat meningkatkan perjuangan untuk kehidupan lebih baik.

Sumber : Prakarsa Rakyat

Tradisi Masak Bakar Batu (Orang Papua) Di Mojowarno - Jombangkab.go.id

Mitra Jombang - Warga Papua Barat menampilkan tradisi bakar batu atau barapen dalam Festival Prakarsa Rakyat (FPR) di lapangan Desa/Kecamatan Mojowarno, Jombang, Selasa (19/11/2013).

Ritual tersebut dinamakan bakar batu karena untuk memasak semua makan yang ada menggunakan batu yang telah dibakar sebelumnya hingga merah membara. Selanjutnya, bahan-bahan makanan yang berasal dari alam seperti daging, sayur, dan juga umbi-umbian dibungkus dengan daun pisang dan disusun rapi di atas batu panas tersebut.

Setelah itu, seluruh permukaan batu ditutup menggunakan daun pisang.
Tumpukan batu dan makanan ini kemudian dibungkus dengan daun pisang hingga tertutup rapat. Gunanya, untuk menjaga agar suhu panas dari batu-batu tersebut tidak keluar. Proses ini memakan waktu hingga dua jam sampai makanan benar-benar siap untuk dikonsumsi.

Sebelum memulai tradisi ini, beberapa warga Papua mengenakan pakaian adat. Di kepala mereka bertengger mahkota berhias bulu burung cenderawasih. Badan mereka dibiarkan telanjang, sedangkan bagian bawah menggunakan penutup dari rumbai-rumbai daun ilalang. Tidak lupa, mereka mencoret-coret tubuh dan wajah dengan cat warna putih bernada etnis. Sedangkan di tangan mereka memegang alat musik mirip gendang atau biasa disebut tifa.

Batu-batu yang sudah menumpuk di hadapan mereka kemudian ditimbuni kayu kering. Tak lama kemudian, salah satu dari pria berambut keriting itu memantik hingga muncul kobaran api. Nah, saat itulah warga Papua ini menari dan menyanyi mengelilingi api tersebut. Tarian etnis itu terus dilakukan hingga batu yang dibakar benar-benar merah membara. Baru setelah itu seluruh makanan seperti daging ayam, umbi-umbian, serta daun pepaya dimasukkan ke dalam batu panas.

Begitu makanan matang, daun pembungkus dilepaskan dan batu yang ditumpuk disingkirkan sehingga tersisa hanya makanan yang telah masak. Seluruh bahan makanan itu kemudian dimasukan ke dalam wadah dan siap untuk disantap. "Rasanya nikmat meski dalam memasak tidak menggunakan bumbu. Ini lebih alami," kata Yahya Bonsapia, salah satu warga Papua usai melakukan ritual barapen.

Alfius Mirino, Ketua DKR (Dewan Kesenian Raja Ampat) Papua Barat, mengatakan, tradisi barapen berlaku secara turun temurun di masyarakat Papua. Tradisi tersebut biasanya digelar untuk peringatan acara-acara tertentu. Semisal, pesta pernikahan, pelantikan kepala suku, serta tradisi mencukur rambut.

"Barapen juga digunakan untuk merayakan kemenangan saat perang antar suku. Tapi itu dulu, waktu masih ada pertikaian antar suku. Hingga saat ini tradisi tersebut masih kita pelihara, semisal saat pelantikan bupati, atau saat pesta pernikahan" kata Alfius yang juga pemimpin rombongan.

Karena tardisi tersebut unik, maka tidak heran penampilan rombongan Papua dalam ajang FPR tersebut mampu menyedot ratusan pengunjung. Selian minta foto bersama, para pengunjung juga diajak menikmati makanan yang dimasak menggunakan batu tersebut. "Bagi saya, ini pertama kali bisa menyaksikan tradisi warga Papua secara langsung. Sebelumnya hanya lewat televisi," kata Yayuk (42), warga Mojowarno, sembari menyantap hasil masakan Papua.

Hilmar Farid, Ketua Perkumpulan Praxis mengatakan, format FPR dipilih sebagai ajang pertukaran gagasan dan pengalaman lintas etnis. Simpul-simpul Praxis dari berbagai wilayah menampilkan budaya asli daerahnya masing-masing. Semisal, lanjut Hilmar, dari Papua menampilkan barapen, dari Aceh menampilkan tradisi tutur, dari Jawa Timur mengetengahkan jaranan dor atau kuda lumping.

"Bukan itu saja, mereka juga menginap dan beraktifitas di rumah penduduk Mojowarno. Dengan pendekatan ini akan terbangun kerjasama, solidaritas, transfer pengetahuan dan budaya secara langsung antar pratisipan maupun masyarakat setempat," pungkas aktivis gerakan sosial yang juga sejarawan, ini.


sumber: beritajatim

Artikel Populer